Kamis, 30 Juli 2009

Materi Sejarah Kelas XII

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Pendahuluan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah buah perjuangan yang telah dilakukan para pendiri bangsa. Kemenangan yang diraih bukanlah milik satu golongan saja, tetapi merupakan kemenangan dan kemerdekaan segenap elemen bangsa. Para pendiri bangsa saat itu sudah berani mengambil resiko perjuangan yang akan mereka terima. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan berarti perjuangan telah selesai. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia akan mengalami fase perjuangan selanjutnya yakni upaya perebutan kekuasan dan pengakuan kedaulatan dari negara lain.
Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya tidak serta merta bebas dari belenggu penjajah Jepang saat itu. Belum lagi masuknya kekuatan asing lain yang masuk ke wilayah Indonesia. Masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi diwarnai dengan berbagai pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan dan memperoleh senjata. Di berbagai daerah terjadi pertempuran. Pergolakan yang terjadi terus meletus tidak hanya di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi terus melebar dan meluas di berbagai daerah lannya yang tidak hanya melawan penjajah Jepang, namun melakukan perlawanan kepada siapapun yang menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia.[1]

Rapat Raksasa di Lapangan Ikada
Para pemuda yang dipelopori oleh Komite van Aksi Menteng 31[2] merencanakan pengerahan massa yang untuk pertama kali mempertemukan pemimpin RI (setelah proklamasi) dengan rakyatnya. Pertemuan itu dimaksudkan untuk membuktikan dukungan rakyat terhadap pemimpinnya serta sebagai upaya awal pengakuan kedaulatan dan harga diri Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Cara yang dilakukan pemuda itu adalah dengan mempersiapkan pengerahan massa dan menyampaikan rencana tersebut kepada presiden. Pada intinya, pemerintah tidak mempermasalahkan pelaksaan acar tersebut. Akan tetapi yang ditakutkan adalah respon penjajah Jepang saat itu. Jika acar tersebut dilakukan, pemerintah mengkhawatirkan akan terjadinya bentrokan antara aparat Jepang dengan massa aksi. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, pemerintah mengadakan sidang kabinet yang diadakan di kediaman presiden pada 19 September. Rapat itu berlangsung hingga dinihari dan dilanjutkan lagi pagi harinya di Lapangan Banteng Barat. Pembicaraan tersebut juga dihadiri oleh para pemimpin pemuda.[3] Para pemuda bersikeras agar acara tersebut tetap diadakan karena massa sudah berbondong-bondong menghadiri Lapangan Ikada untuk mendengarkan pidato dari pemimpinnya. Situasi tegang terjadi saat itu karena penjagaan ketat dari aparat bersenjata Jepang. Selain itu, massa aksi banyak yang membawa senjata tajam. Acara tetap dilakukan dengan pidato Bung Karno. Dalam pidatonya, Bung Karno meminta kepercayaan dan dukungan rakyat kepada Pemerintah. Ia mengharapkan rakyat dapat mematuhi perintah dan disiplin. Setelah acara selesai, massa diperintahkan untuk membubarkan diri dengan tenaang. Perintah itu akhirnya ditaati oelh massa yang meninggalkan rapat raksasa dengan tertib tanpa kerusuhan. Walaupun pidato Bung Karno berlangsung sangat singkat, namun berhasil mempertemukan Pemerintah Republik Indonesia dengan rakyatnya. Rapat raksasa 19 September 1945 adalah momen pertama yang menunjukkan kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyatnya.

Perebutan kekuasaan di beberapa daerah
Semangat revolusioner kemerdekaan bukan hanya terjadi di Jakarta yang notabene adalah pusat kekusaan Republik Indonesia. Di berbagai daerah juga terjadi hal demikian. Perebutan kekuasaan di beberapa daerah bahkan terjadi bentrokan fisik dan konfrontasi senjata.
Di Yogyakarta terjadi aksi pemohokan pegawai perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang. Perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945 sejak pukul 10 pagi. Massa memaksa orang-orang Jepang untuk menyerahkan semua kantor perusahaan mereka kepada Indonesia. Sehari setelah itu, pada tanggal 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan Republik Indonesia.[4]
Di Bandung, dilakukan upaya merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel). Upaya tersebut berlangsung hingga kedatangan pasukan Serikat di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945.
Di Banda Aceh, para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) pada tanggal 6 Oktober 1945. Namun pada tanggal 12 Oktober 1945, Jepang memanggil para pemimpin gerakan itu untuk dan menyatakan bahwa walaupun Jepang telah kalah, semua kegiatan pendirian organisasi dan perkumpulan harus meminta izin kepada Jepang. Bila hal itu tidak dilakukan maka perkumpulan itu akan dibubarkan. Hal itu memicu pertentangan dari para pemuda dan masyaraat. Akhirnya perlawanan mereka meluas dengan dilakukannya perebutan kantor-kantor Jepang dan pelucutan senjata militer Jepang.[5]
Secara umum, perlawanan terjadi di berbagai daerah lainnya seperti di Bali, Sumatera Selatan, Gorontalo, Kalimantan, Sulawesi Utara, dll. semua perlawanan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perebutan kekuasaan Indonesia terhadap pemerintah kolonial.[6]Rakyat Indonesia telah lama merindukan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan penderitaan. Dan sudah saatnya mereka mendapatkan hak kemerdekaan yang telah mereka idam-idamkan.

Pertempuran Surabaya
Surabaya sebelum perang memang sudah menyimpan kerawanan konflik yang besar. Di kota ini banyak berdiri Laskar rakyat dan BKR[7]yang sangat bersemangat dalam rangka kemerdekaan Indonesia dan usaha untuk mempertahankannya. Ketegangan di Surabaya semakin meningkat dengan pendaratan Sekutu yang mempunyai agenda untuk mempertahankan status quo. Dengan adanya tentara Sekutu maka perang adalah suatu hal yang tidak terelakan.
Berawal dari tewasnya Brigjen Mallaby yang mengakibatkan Mayjen Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya yang menyatakan agar rakyat Surabaya datang ketempat yang telah ditentukan selambat-lambatnya tanggal 9 November 1945 pukul 18.00 dengan membawa bendera putih dan senjata. Apabila tidak dipenuhi maka pasukan Inggris akan menggunakan kekuasaan angkatan laut, udara, dan darat.
Apa yang diperhitungkan oleh pihak TKR betul-betul terjadi pada tanggal 10 November 1945 pagi hari sekali, pesawat-pesawat tempur Sekutu melayang-layang di udara kota Surabaya. Suara-suara ledakan terdengar keras sekali di bagian utara kota Surabaya. Sudah dapat dipastikan bahwa tentara Sekutu benar-benar memenuhi bunyi ultimatumnya dengan mengerahkan segenap angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya. Tembakan-tembakan dari darat, laut, maupun udara menggempur kota tiada henti-hentinya. Namun rakyat, TKR, dan seluruh badan perjuangan bersenjata telah bersatu padu untuk mempertahankan kota Surabaya dari gempuran balasan tentara Inggris. Maka pecahlah perang antara pasukan TKR bersama laskar rakyat melawan pasukan Inggris. Perang ini lebih dikenal dengan "Perang 10 November 1945".
Pasukan TKR menerapkan stategi yang telah direncanakan, yaitu mempertahankan kota Surabaya dengan tidak memberikan kesempatan pasukan Inggris untuk menguasai tiap-tiap jalan atau pun gedung-gedung. Hampir setiap sudut kota Surabaya telah dipertahankan oleh pasukan TKR dengan mati-matian.
Sebetulnya taktik yang direncanakan dalam melawan pasukan Inggris dengan melaksanakan perang kota telah dilakukan dengan sempurna oleh pasukan TKR dan laskar rakyat Surabaya. Tetapi ada yang diluar perhitungan, jumlah pasukan Inggris berlipat ganda dan jauh lebih besar daripada ketika dikomandoi oleh Brigjen Mallaby, bahkan taktiknya berubah sama sekali.
Dulu sewaktu Mallaby sebagai komandannya, pemusatan-pemusatan pasukan Inggris lebih banyak terlihat, karena mereka berangapan bahwa kekuatan TKR dan laskar rakyat sangat kecil. Perhitungan yang meleset itu menimbulkan dampak kehancuran bagi pasukan Inggris. Mereka terpotong-potong dan berada jauh dari logistiknya.
Berbeda dengan strategi yang dilaksanakan oleh Mansergh, yang mungkin telah mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan dan laskar rakyat, maka di samping menambah pasukan tempurnya yang berlipat ganda, ia juga lebih mengutamakan gerakan serentak secara total yang dibantu oleh segenap angkatan perangnya dan kemudian menjepit serta terus menggiring pasukan TKR ke arah luar kota agar tujuan utamanya menguasai kota Surabaya secara menyeluruh berhasil.
Rupanya pasukan TKR dan laskar rakyat masih menggunakan pola pertempuran lama, yaitu tetap bertujuan mengepung dan mengisolir, kemudian memutuskan hubungan dengan pasukan indukya kemudian baru menghancurkannya. Tetapi semua gerakan pasukan TKR dan laskar rakyat itu selalu tidak berhasil dan bahkan menimbulkan korban yang sangat besar. hal itu disebabkan karena gerakan pasukan Inggris selalu berlapis-lapis susunannya dan majunya selalu dibarengi oleh kekuatan lapis baja yang dibantu pula oleh serangan pesawat udaranya.
Melihat perkembangan pasukan TKR dan laskar rakyat yang sangat memprihatinkan, dan jumlah korban yang semakin besar, maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh mayjen Jonosewojo selaku komandan Divisi Surabaya, ialah segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk segera mengundurkan diri ke daerah pinggiran kota Surabaya. Kecuali itu strategi untuk mengepung seluruh pasukan Inggris diubah, tidak lagi mengepung pemusatan-pemusatan pasukan Inggris lagi karena kekuatan mereka berlapi-lapis jumlahnya, karena itu dilakukan strategi yang kedua, yaitu mengepung kota Surabaya dengan melakukan perang gerilya sebagai lanjutan dari strategi perang kota yang boleh dikatakan gagal total.
Untuk mengadakan hubungan dan koordinasi antar pasukan yang banyak terpukul oleh gerakan pasukan Inggris sangatlah tidak mudah. Banyak kesulitan yang dialami, karena untuk mencari induk pasukan yang sudah berpisah dengan anak pasukannya kadang-kadang memerlukan waktu lama dan terpaksa harus menerobos jepitan-jepitan yang telah dilakukan oleh pasukan Inggris.
Akhirnya setelah pasukan TKR dan laskar pemuda Surabaya bertempur melawan pasukan Inggris yang ternyata didalamnya ikut pula pasuka NICA yang telah dilatih di Amerika Serikat, yang memakan waktu lebih dari tiga minggu, berhasil mengadakan konsolidasi kembali dan mempertahankan kota Surabaya dari pinggiran kota saja.
Dengan datangnya pasukan dari utara maka kekuatan Batalion Bambang Joewono, Batalion Darmosoegondo, Batalion Sawunggaling, Batalion Moh. Isa Edris dan laskar rakyat yang ditugaskan untuk menahan laju pasukan Inggris dengan batas Sungai Sepanjang dan Sungai Wonokromo akhirnya menjadi semakin kuat.
Setelah pasukan TKR mengadakan pertempuran tanpa henti untuk memertahankan kota Surabaya selama lebih dari tiga minggu, akhirnya terpaksa harus mundur dari dalam kota belum menurun, tetapi posisi berbalik menjadi pihak yang selalu diserang oleh Sekutu. Pertempuran-pertempuran di pinggiran kota pun makin hebat dan meluas hinga akhirnya perang yang bersifat frontal menjadi perang gerilya.

Pertempuran Ambarawa
Pertempuran yang terjadi antar pasukan TKR dan pemuda melawan pasukan Inggris ini berlangsung sejak tanggal 20 November 1945 sampai 15 Desember 1945. Pertempuran ini dipicu oleh pelangaran kesepakatan pihak tentara serikat dalam perjanjian dengan pihak TKR. Peristiwa itu berawal saat pasukan serikat yang masuk ke wilayah RI diperkenankan mengurus para tawanan perang. Namun yang dilakukanya justru mempersenjatai para tawanan perang tersebut. Setelah itu terjadi berbagai insiden yang terus meluas. Pada tangal 20 November 1945 di Ambarawa meletus pertempuran antara (di bawah pimpinan Mayor Sumarto) melawan pasuka serikat. Pihak serikat memperkuat pasukan mereka dengan mendatangkan personil ke Ambarawa. Pertempuran dalam kota terjadi pada tanggal 22 November 1945. Bantuan pasukan juga berdatangan ke lokasi pertempuran anatar lain batalyon 10 Divisi III, Batalyon 8, dll. Strategi yang dilakukan pasukan TKR berhasil mengepung musuh. Namun musuh melakukan sebuah strategi melambung yang mengancam kedudukan pasukan TKR. Semua elemen berdatangan seperti batalyon dari Yogyakarta, batalyon Polisis Istimewa, dll. mereka dapat menahan musuh sampai ke desa Jambu. Di desa Jambu mereka membentuk suatu komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran. Sejak saat itu medan Ambarawa dibagi menjadi empat sector dan koordinasi semua elemen berjalan sesuai koordinasi sehingga pasukan Indonesia semakin kuat. Kekuatan yang ikut bertempur saat itu terdiri dari 19 batalyon TKR dan beberapa batalyon badan perjuangan. Lama kelamaan kedudukan musuh semakin terjepit. Dan akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945, musuh mulai meninggalkan kota Ambarawa.[8]






Penutup
Proklamasi adalah puncak perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pada hakikatnya, proklamasi adalah symbol terlepasnya segala belengu penjajahan yang telah lama dirasakan. Akan tetapi, setelah proklamasi bukan berarti Indonesia lepas dari segala permasalahan. Perjuangan awal kemerdekaan setelah proklamasi justru menjadi batu ujian sejauh mana perjuangan dan kesadaran berbangsa dari setiap rakyat. Ujian yang diterima Indonesia begitu besar. Rakyat dengan militansinya terus menerus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Perebutan kekuasan yang berakibat pada meletusnya berbagai pertempuran menjadi gambaran bahwa rintangan yang dihadapi Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat begitu berat.



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A.M. Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
Kahin, George McTurnan. Nasinalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Notosusanto dkk. Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Reid, Anthony J.S. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia (1945--1967).. Jakarta: LP3ES, 1986.




[1]Setelah Jepang mengalami kekalahan, pasukan Serikat yang juga dimanfaatkan oleh Belanda di dalamnya mencoba memasuki Indonesia untuk memulihkan keadaan dan mengambil alih kekusaan kolonial Jepang. Secepatnya pasukan serikat/sekutu memasuki berbagai wilayah Indonesia. Selengkapnya baca Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. hlm. 179-210.
[2]Komite van Aksi Menteng 31 adalah wadah perkumpulan pemuda yang bertempat di Jln. Menteng 31. Kelompok ini adalah salah satu otak dari peristiwa Rengasdengklok. Untuk lebih jelasnya baca A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
[3]Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 101
[4]Ibid., hlm. 103

[5]Ibid., hlm. 106
[6]Pertempuran yang tak menentu antara orang Jepang dan Indonesia makin sering terjadi dan makin meluas di berbagai daerah. Lebih lengkap baca George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
[7]Pada tanggal 22 Agustus Agustus, PPKI mengumumkan terbentuknya sebuah "Badan Penolong Keluarga Korban Perang" yang secara keorganisasian mencakup sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam perkembangannya, BKR terus melakukan metamorfosis menjadi sebuah wadah tentara nasional. Selengkapnya baca Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia (1945--1967), Jakarta: LP3ES, 1986.
[8]Nugroho, Op. Cit., hlm. 116-118

Kisah Para Perempuan Korban 1965
"Genjer-genjer" Menyeret Sumilah ke Plantungan

Penjara Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu dari kisah tragis para perempuan Indonesia yang diisolasi di bekas Rumah Sakit Lepra tersebut. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah menjadikan mereka sebagai "tumbal" hanya karena tudingan terlibat atau dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Minggu (24/7), para eks tahanan politik (tapol) Plantungan menggelar "reuni" di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di Bugisan, Yogyakarta. SH menurunkan kisah mereka dalam dua tulisan yang dimuat Jumat dan Sabtu (30/7).
Yogyakarta - Genjer-genjer mlebu kendil wedange gemulak/Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/Genjer-genjer dipangan musuhe sego. (Genjer-genjer dimasukkan dalam kuali panas/ Setelah setengah matang diangkat untuk lauk/Nasi di piring dan sambel jeruk di atas cobek/Genjer-genjer dimakan bersama nasi)
Bait di atas adalah penggalan lagu Genjer-genjer karya seniman Banyuwangi, Muhammad Arif dan dipopulerkan oleh Bing Slamet. Anda pernah mendengarnya atau barangkali menyenandungkannya pelan-pelan?
Generasi yang hidup di era 1960-an akrab dengan lagu ini. Di film "Gie" yang kini diputar di bioskop-bioskop Jakarta, dendang Genjer-genjer juga terdengar, dilantunkan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Jika Anda melantunkan lagu yang bercerita soal kemelaratan warga Banyuwangi di masa pendudukan Jepang itu sekarang, tak akan ada dampak apa-apa, kecuali mungkin tatapan aneh lingkungan sekitar yang menduga Anda sebagai anak yang dilahirkan dari rahim ibu pengikut Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) atau setidaknya simpatisan dari PKI. Namun jika lagu itu dinyanyikan menjelang peristiwa G30S, maka petaka menjadi takdir yang menghampiri.
Sumilah, perempuan asal Prambanan, Yogyakarta adalah salah satu contoh dari takdir itu. Gadis Sumilah yang waktu itu masih berumur 14 tahun sama sekali tak tahu asal muasal kenapa pagi tanggal 19 November 1965 itu, ia bersama 47 orang (tujuh perempuan) lainnya diharuskan berkumpul oleh lurah desanya di sebuah lapangan. Kemudian mereka diangkut oleh truk ke penjara Wirogunan.
Sepanjang jalan, Sumilah mencoba mengingat apa kesalahannya, tapi tak juga ketemu.
Satu-satunya yang melintas di ingatannya adalah kesukaannya menari bersama teman-teman sepermainannya dengan iringan Genjer-genjer. "Saya suka. Nada lagu itu enak sekali," ujarnya mengenang, Minggu (24/7) siang di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di Bugisan, Yogyakarta.
Namun justru kesukaan inilah yang menjadi malapetaka baginya. Ia tinggal di hotel prodeo selama 14 tahun, tanpa ada tuduhan maupun pengadilan. Mula-mula, ia tinggal di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Setiap hari, ia hanya diberi makan jagung beberapa butir dan kadang-kadang sayur lembayung.
Ia menjalani pemeriksaan di bawah sejumlah tekanan. Saat ditanyakan jenis tekanan atau siksaan yang ia alami selama pemeriksaan, Sumilah melengos. Pandangannya menerawang. Kenangan itu terlalu menyakitkan. Enam bulan lamanya, Sumilah berada di Wirogunan, sebelum kemudian dipindahkan ke penjara Bulu di Semarang dan terakhir di Plantungan pada tahun 1971.
Di Plantungan inilah, Sumilah yang menjadi tahanan termuda, mengetahui bahwa ia adalah korban salah tangkap. Sumilah yang seharusnya menjadi target penangkapan adalah seorang guru SD asal Kulon Progo, Yogyakarta yang menjadi anggota PGRI Non-Vaksentral. Kedua Sumilah ini sempat berada bersama di penjara Wirogunan. Meski begitu, Sumilah yang hanya jebolan kelas 4 SD tidak dilepaskan oleh petugas.
Dan saat Sumilah bocah ini harus berada di bui selama 14 tahun, Sumilah lainnya yang menjadi target hanya menempati penjara Wirogunan selama tiga tahun. Empat puluh tahun setelah penangkapan yang ironis itu, keduanya terlihat duduk bersila, berdampingan di pendopo SMKI, Minggu (24/7) siang itu. Entah apa yang mereka bicarakan dalam acara reuni eks tapol Plantungan itu.
Seandainya masa lalu begitu menyakitkan untuk diceritakan, barangkali keduanya tengah berbincang tentang hidup yang harus mereka jalani di usia senja sekarang.
Sumilah asal Prambanan kini menjalani hidup dengan laki-laki bekas kader Pemuda Rakyat (PR) yang menikahinya setelah ia keluar dari penjara tahun 1978. Dikarunia dua putra, laki-laki dan perempuan, Sumilah kini menghabiskan hidupnya dengan berjualan sate di areal depan Prambanan. "Saya bertemu dengan suami saya di Muntilan. Saya waktu itu berjualan sate di tempat bulik saya dan ia merupakan salah satu pembeli," tutur Sumilah mengenang.
Satu-satunya syarat yang diajukan Sumilah saat laki-laki itu melamarnya hanyalah supaya laki-laki itu bersedia menikahinya secara Katolik. Sementara kisah pahit masa lalu mencoba mereka lupakan. Di depan kedua anaknya, cerita tersebut juga tak dikatakan. Sampai kemudian, saat Syarikat (organisasi nonpemerintah di Yogyakarta yang memiliki kepedulian terhadap para korban peristiwa 1965) berniat mendokumentasikan kisah Sumilah dalam film dokumenter "Kado Untuk Ibu", anak perempuannya yang duduk di bangku SMA, baru mengetahui tragedi yang menimpa ibunya.
Gadis yang besar di era reformasi itu pasti tak menyangka bahwa hanya gara-gara sebuah lagu, ibunya harus menghabiskan 14 tahun masa hidupnya di balik jeruji penjara. Sayangnya, 40 tahun setelah kesewenang-wenangan itu berlalu, negara ini tak juga menemukan aktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Jalan rehabilitasi terhadap para korban pun tak juga mulus. nn
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/29/sh03.html
++++
Kisah Para Perempuan Korban 1965 (2 - Habis)
Sumpah Iman di Tengah Siksaan
Oleh
Fransisca Ria Susanti
YOGYAKARTA - Adegan Getsemani saat Yesus begitu ketakutan dan menginginkan agar proses penyaliban yang akan menimpanya tak terjadi, seperti diputar ulang di Plantungan, Kendal sekitar awal 1970-an.
Bedanya, doa ini disampaikan di tengah berlangsungnya siksaan dan diucapkan oleh Sumarmiyati, perempuan asal Yogyakarta yang dipenjarakan oleh pemerintahan Soeharto hanya gara-gara ia menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sebuah organisasi yang dicap underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sumarmiyati bahkan menyatakan sumpah, jika ia diberi kekuatan untuk bisa mengatasi siksaan dan diberi kesempatan untuk menikah dan punya anak, maka satu anaknya akan ia persembahkan untuk Tuhan. Sebagai penganut Katolik, sumpah "persembahan" ini adalah izin untuk membiarkan anaknya menjadi biarawan.
Bersama perempuan lainnya, Sumarmiyati dimasukkan dalam penjara Orde Baru tanpa pernah diadili pasca Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Desember 1965, perempuan tersebut dimasukkan ke penjara karena keterlibatannya di IPPI. Tapi kemudian dilepaskan pada April 1966.
Saat ia dikeluarkan, seorang pastor menampungnya dan menyekolahkannya hingga ia memperoleh ijazah untuk mengajar di Sekolah Dasar di Janti, Yogyakarta. Namun pada April 1968, Sumarmiyati kembali ditangkap atas tuduhan melakukan gerilya politik (gerpol).
Bantahan terhadap tudingan ini sama sekali tak diperhatikan. Tak ada satu pun pengadilan yang digelar untuk membuktikan tudingan ini. Sumarmiyati dijebloskan ke penjara, untuk kedua kalinya, hingga tahun 1978. Ia berpindah-pindah dari penjara Wirogunan, lalu ke Bulu dan terakhir di Plantungan.
Dalam film dokumenter "Kado untuk Ibu" yang digarap oleh Syarikat (organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan nasib para korban peristiwa 1965),
Sumarmiyati bertutur bagaimana ia dan tapol perempuan lainnya ditelanjangi dan dipaksa untuk menciumi penis para pemeriksanya.
"Kami disuruh melakukan itu karena menurut mereka kami layak diperlakukan seperti itu," tuturnya getir.
Saskia Eleonora Wierenga dalam studinya tentang "Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia" menyebutkan bagaimana Orde Baru sengaja menciptakan stigma bagi perempuan yang terlibat atau diduga simpatisan PKI. Penciptaan stigma tersebut diperkuat melalui media massa yang ada saat itu, di antaranya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Dalam koran-koran tersebut, aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) -organisasi yang dicap underbouw PKI- digambarkan turut terlibat dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya dengan melakukan tari-tarian saat pembantaian dilakukan. Mereka bahkan dilukiskan sebagai perempuan jalang yang menyetubuhi para jenderal tersebut sebelum dibunuh.
Drama Kecengengan
Guna menguatkan image tersebut, rezim Soeharto bahkan meminta para seniman menggambarkan adegan tarian para aktivis Gerwani ini di relief Monumen Pancasila Sakti.
Pencitraan ini melahirkan stigmatisasi yang menyakitkan bagi para aktivis politik perempuan yang dekat dengan PKI, juga para perempuan yang ditangkap hanya karena diduga simpatisan organisasi tersebut.
Namun bagi Sumarmiyati, stigma ini tak berarti banyak bagi dirinya ketika pada November 1978, dua bulan setelah ia keluar dari Plantungan, sang pacar yang juga baru keluar dari penjara datang melamar. Setidaknya, hidup serumah dengan laki-laki yang memahami pilihan politiknya, membuat Sumarmiyati lebih kuat dalam menjalani hidup.
Selain itu, lingkungannya pun bisa menerima. Bahkan ia mendapatkan dispensasi dari kawan-kawan di organisasi gerejanya untuk meminjam uang kas. Padahal salah satu syarat peminjaman saat itu adalah melampirkan "surat bersih diri" (surat keterangan tidak terlibat G30S) dari kelurahan.
Dan sesuai dengan sumpah yang ia ucapkan saat berada dalam siksaan, satu dari dua orang anak Sumarmiyati kini sedang melanjutkan studi di seminari tinggi. Jika ia berhasil menyelesaikan studi tersebut, maka ia akan ditahbiskan menjadi pastor.
Sumarmiyati dan juga ratusan perempuan yang hadir di forum reuni eks tapol Plantungan di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI), Bugisan, Yogyakarta, Minggu (24/7) siang itu, masih merekam kesewenangan rezim Orde Baru dengan jelas di ingatan. Namun hidup terus berjalan. Persoalan keseharian membuat bayang-bayang kenangan yang menyiksa itu sedikit kabur.
Sumini Martono, aktivis Gerwani Wonosobo yang jadi tapol selama 10 tahun, adalah contoh lain dari ketegaran itu. "Saya ditangkap dengan janji akan dilepaskan setelah suami saya ditangkap. Tapi setelah suami saya ditangkap, saya tak juga dilepas. Dan saat saya sudah dikeluarkan, suami saya ternyata sudah hilang," ungkapnya.
Hilang, dalam bahasa para tapol, adalah dibunuh. Suami Sumini memang terbukti dibunuh oleh para aparat Orde Baru dan mayatnya dihanyutkan di sebuah luweng di Wonosari. Tempat ini dikenal sebagai tempat pembantaian para aktivis yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI pasca perisiwa G30S.
Saat menceritakan kisah tersebut, Sumini menyampaikannya dengan enteng. Tapi bukan berarti ia tak merasa kehilangan. Hanya saja, ketika sebuah penderitaan sudah tak tertahankan dan tak ada jawaban yang bisa diberikan atasnya, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menjalani hidup dengan kekuatan yang tersisa.
Ketegaran yang ditunjukkan Sumarmiyati dan Sumini serta ribuan eks tapol Plantungan membuat keluhan anggota DPR dan pejabat negara saat ini tentang gaji yang minim tampak seperti drama kecengengan.

From : Fransisca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar